[ad_1]
Dimas Oky Nugroho Pengamat Politik sekaligus Ketua Perkumpulan Kader Bangsa menyebut rendahnya tingkat kepercayaan publik pada DPR maupun DPRD menurut survey indikator politik, tak lepas dari kontroversial dan ekspektasi masyarakat yang terlalu tinggi pada dua institusi publik tersebut.
Apalagi menurutnya, posisi para anggota legislatif tersebut jadi sasaran terlemah dibanding institusi seperti TNI-Polri untuk disorot masyarakat. Khususnya media, akademisi dan non-Governmental Organization atau lembaga swadaya masyarakat (NGO/LSM).
“Jadi wajar saja kalau tingkat ketidakpuasan dan ketidakpercayaan publik masih tinggi,” ujar Direktur Eksekutif PT Akar Rumput Strategic Consultin itu saat mengudara di program Wawasan Suara Surabaya, Senin (15/5/2023).
Untuk diketahui, hasil survei Indikator Politik pada Juni 2022 lalu masih menempatkan DPR dan partai politik (Parpol) sebagai institusi negara dengan tingkat kepercayaan publik terendah. Tingkat kepercayaan publik ke DPR 62,6 persen dan Parpol di angka 56,6 persen.
Sementara di tahun 2019, hasil jajak pendapat Litbang Kompas menyebut 66,2 persen dari 529 responden merasa aspirasinya belum terwakili oleh DPR Periode 2014-2019. Baik dalam fungsi pengawasan, legislasi maupun penganggaran.
Atas rendahnya tingkat kepercayaan publik itu, Dimas menyebut kalau Parpol harus mulai mencermati dan memastikan sumber daya manusia-nya betul-betul bisa mengisi dan menjembatani aspirasi publik saat menjabat di legislatif.
“Apalagi tantangan terbesar dari (anggota) legislatif adalah menjalankan (tugasnya) dengan baik, tidak terjebak industri dan perilaku gaya hidup yang mewah yang disitu mengundang (praktik) korupsi. (Intinya) bagaimana agar masyarakat tetap cinta, mendukung dan memastikan bahwa dampak keberadaan legislatif tetap bermanfaat dan berguna,” jelasnya.
Dia berharap agar Parpol tidak hanya menggaet sosok yang vote getter atau pengambil/pengumpul suara yang sejatinya tidak punya background, kedekatan, dan concern (fokus) untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat.
Kata Dimas, kebanyakan caleg dari Parpol merupakan pesohor atau sosok yang dekat dengan orang-orang yang punya power di suatu daerah. Sehingga, kebanyakan tidak mengetahui persoalan-persoalan di dapil (daerah pilihan) yang diwakili.
“Harusnya ada peluang bagi sosok-sosok yang memiliki kemampuan mengadvokasi isu-isu komunitas atau masyarakat sipil di bawah. Jadi mereka besar dari akar rumput, direkrut dan dikaderisasi. Saya pikir ini yang harus diperhatikan Parpol agar tidak terjebak dalam pola rekrutmen yang berbasis pada popularitas. Ini untuk menjaga kepercayaan rakyat,” bebernya.
Selanjutnya, saat para calon yang sudah terpilih dan menjabat sebagai anggota legislatif, harus dipantau secara aktif oleh Parpol agar turut aktif menyerap aspirasi publik. Serta, terlibat langsung dalam penyusunan Undang-Undang hingga Peraturan Daerah (Perda), sehingga tidak hanya modal tanda tangan persetujuan saja.
Parpol juga harus senantiasa melakukan penguatan kualitas para kadernya yang terpilih di legislatif. Hal ini, kata Dimas, agar selain bisa berkolaborasi dengan mitra eksekutif (Pemerintah), juga mampu memberikan problem solving kepada masyarakat.
“Karena ada juga fenomena dimana Parpol tertentu lebih mengupayakan (calon) dari orang-orang yang bisa vote getter, tapi ketika implementasi penyusunan kebijakan di Parlemen, sering kali mereka kurang. Lagi-lagi masyarakat akhirnya menilai apakah aspirasi mereka diperjuangkan dengan baik atau tidak,” jelasnya.
Untuk itu, Dimas mengemukakan agar masyarakat dalam kontestasi politik kedepan lebih memperhatikan aspek-aspek memilih sosok yang mewakili suaranya. Pertama, memahami konteks penyusunan kebijakan dan APBN/APBD hingga pengawasan terhadap eksekutif. Kedua, tidak serta merta karena populer dan punya kepedulian isu-isu tertentu.
“Dan ketiga paling penting segmentasi. Jangan sampai di DPR/DPRD isinya hanya segelintir pengusaha tertentu, pastikan ada perwakilan masyarakat organik seperti misalnya serikat pekerja, tani, dan pekerja kreatif misalnya,” tuturnya.
Terakhir, dia berpesan agar masyarakat tidak terjebak dalam kampanye hitam dan negatif, dengan mengenali sendiri background dan track record dari sosok yang akan dipilih. (bil/rst)
[ad_2]