[ad_1]
Eri Cahyadi Wali Kota Surabaya menginstruksikan Dinas Perhubungan (Dishub) untuk meningkatkan pengawasan parkir liar, guna mencegah kebocoran Pendapatan Asli Daerah (PAD) lagi di tahun 2024.
Pihaknya juga meminta titik tanda larangan parkir harus dijaga, tidak hanya selama jam kerja. Sebab masih banyak kendaraan parkir di tanda larangan parkir yang menyebabkan kebocoran PAD dari retribusi.
Kata Eri, pencegahan kebocoran retribusi parkir bisa dilakukan Dishub Surabaya dengan digitalisasi. Seperti memasang CCTV di setiap restoran untuk mengawasi parkir tepi jalan umum di area itu.
Dishub juga diminta melaporkan pendapatan retribusi parkir per hari berupa jumlah retribusi yang diterima dan kekurangan dari target yang belum tercapai. Harapannya ada perbaikan untuk mencapai target retribusi parkir pada keesokan harinya.
Lantas bagaimana menuntaskan masalah parkir atau jukir liar di Surabaya? Apakah dengan perubahan sistem parkir atau penindakan tegas?
Dalam diskusi di program Wawasan Polling Suara Surabaya pada Kamis (4/1/2024) pagi, masyarakat menyebut penindakan tegas sekaligus perubahan sistem untuk menuntaskan masalah parkir di Kota Pahlawan.
Dari data Gatekeeper Radio Suara Surabaya, dari total 35 pendengar yang berpartisipasi, 22 di antaranya (63 persen) memilih perubahan sistem untuk mengatasi masalah parkir. Kemudian 13 lainnya (37 persen) menilai masalah parkir bisa diselesaikan dengan penindakan tegas.
Sementara itu, dari data di Instagram @suarasurabayamedia, sebanyak 145 votes (32 persen) menyebut penuntasan masalah parkir bisa dilakukan dengan perubahan sistem. Sedangkan 305 lainnya (68 persen) memilih penindakan tegas sebagai solusi menuntaskan masalah parkir di Surabaya.
Menyikapi hal itu Machsus Fauzi Dosen Transportasi Teknik Infrastruktur Sipil Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya mengatakan, digitalisasi parkir hanya salah satu instrumen yang bisa dijadikan opsi.
“Namun sesungguhnya instrumen itu sangat tergantung bagaimana penegakannya. Karena instrumen itu tidak bisa berjalan sendiri,” kata Machsus ketika on air di Radio Suara Surabaya.
Machsus menjabarkan bahwa bahwa parkir dapat dipilah menjadi dua, yakni on street parking dan off street parking. Menurutnya, titik kebocoran lebih banyak yang on street parking atau parkir di tepi jalan umum.
“Saya kurang sebenarnya setuju kalau jalan difungsikan sebagai kantong parkir. Sebab itu menyumbang kemacetan. Selain itu, kebocoran parkir tepi jalan akan nol kalau tak ada parkir di tepi jalan. Tapi, jika parkir di pinggir jalan dinilai memiliki potensi menambah potensi PAD, maka harus disiapkan aspek teknis dan penegakannya,” ungkapnya.
Ia tak menampik bahwa di tepi jalan memungkinkan adanya interaksi atau transaksi langsung antara juri parkir dengan pengguna jasa parkir. Inilah yang memberi ruang terjadinya kebocoran. Maka transaksi cashless dapat menjadi salah satu opsi untuk menghindari itu.
Tapi semua kembali ke proses pengawasan dan penegakannya. Tidak tidak ditegakkan, maka proses digitalisasi yang bagus itu tidak efektif.
“Menurut saya akar masalahnya ada di penegakannya. Sebab instrumen hanya salah satu alat untuk meminimalisasi kebocoran. Sebab saya juga mencatat di beberapa daerah bahwa digitalisasi parkir juga tidak efektif,” ungkapnya.
Machsus menekankan perlunya kajian terkait kebocoran parkir ini. Harus dilakukan survei yang melibatkan semua pihak agar secara akademis diketahui sesungguhnya berapa potensi masing-masing titik parkir di Surabaya.
Langkah berikutnya adalah penelucuran kebocoran. Misal ada transaksi namun tidak diberikan karcis, karcis diberikan berulang-ulang, atau tarif karcis yang dinaikkan oleh oknum jukir.
Setelah tahapan ini dilakukan, baru dirumuskan kebijakannya. Proses penerapan kebijakan harus bersifat win-win solution. Baik untuk jukir, paguyupan, maupun pemerintah daerah.
Machsus juga menyebut pentingnya melibatkan aparat hukum jika terindikasi ada tindak pidana dalam kebocoran parkir ini.
Machsus menambahkan, ke depan tren cashless ini tidak bisa dihindari. Sebab Gen Z menjadi bagian dari masyarakat tanpa uang tunai. Sehingga konsep digitalisasi ini cocok, tinggal bagaimana penegakannya.
“Tapi dari 1.300an titik parkir di Surabaya, tidak semua harus diterapkan digitalisasi, tapi bisa dimulai beberapa sebagai pilot project. Sebab harus dilihat bagaimana kondisi masyarakat di sana. Jika mereka belum siap cashless, itu harus diakomodasi juga,” jabar Machsus.
Ia juga tidak bersepakat kalau 1.300an titik parkir itu digebyah uyah untuk digitalisasi parkir. Itulah sebabnya butuh pilot project yang kondisinya memungkinkan untuk parkir digital
“Solusinya harus duduk bersama semua pihak. Harus dirumuskan kebijakan yang menguntungkan semuanya. Kalau ada jaminan menjadi jukir itu sejahtera, saya kira setiap insan itu akan happy tanpa melakukan praktik penyimpangan,” tuturnya. (saf/ipg)
[ad_2]