[ad_1]
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat, terdapat 475 yang meninggal karena demam berdarah dengue (DBD) dan tercatat sebanyak 62.001 kasus hingga ke-15 2024.
Siti Nadia Tarmizi Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes menyebut, pada periode yang sama pada tahun 2023, terdapat sebanyak 22.551 kasus DBD serta 170 kematian.
Siti menjelaskan, bahwa lima kabupaten dan kota dengan kematian akibat DBD tertinggi pada 2024 adalah Kabupaten Bandung dengan 25 kematian, Kabupaten Jepara dengan 21 kematian, lalu Kabupaten Subang dengan 18 kematian.
Selanjutnya ada Kabupaten Kendal dengan 16 kematian dan Kota Bekasi dengan 15 kematian.
Lalu lima kabupaten dan kota dengan kasus DBD tertinggi pada 2024 adalah Kabupaten Tangerang dengan 2.540 kasus, Kota Bandung dengan 1.741 kasus, Kabupaten Bandung Barat dengan 1.422 kasus.
Selanjutnya ada Kabupaten Lebak 1.326 kasus dan Kota Depok 1.252 kasus.
Masihkah Anda waspada DBD?
Dalam diskusi di program Wawasan Polling Suara Surabaya pada Kamis (18/4/2024) pagi, sebagian besar masyarakat masih mewaspadai DBD.
Dari data Gatekeeper Radio Suara Surabaya, dari total 19 pendengar yang berpartisipasi, 18 di antaranya (95 persen) masih mewaspadai DBD. Lalu satu lainnya (5 persen) menyatakan tidak.
Sementara itu, dari data di Instagram @suarasurabayamedia, sebanyak 255 votes (91 persen) mengaku masih waspada. Sedangkan 25 lainnya (9 persen) tidak.
“Kalau saya melihat kenapa tahun ini melonjak, mostly penyebabnya karena perubahan iklim,” terangnya ketika on air di Radio Suara Surabaya pada Kamis pagi.
Menurut Wakil Dekan II Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (Unair) itu, ketika berbicara mengenai DBD, maka faktor utamanya adalah nyamuk. Dalam hal ini aedes aegypti dan aedes albopictus.
Aedes aegypti disebut lebih memilih menggigit manusia. Sedangkan aedes albopictus tak pilih-pilih siapa yang digigit, termasuk hewan pun akan digigit.
Atoillah menjelaskan, musim pancaroba adalah momen bagi nyamuk aedes aegypti untuk membiakkan telurnya. Baik di air bersih maupun di lokasi lain seperti tempat minum burung atau pot hidroponik.
“Lalu apa kaitannya dengan perubahan iklim? Sebab pancaroba memanjang. Sekarang sudah April, normalnya tidak terjadi hujan. Tapi sesekali hujan. Itu kemudian menyebabkan adanya genangan-genangan di tempat-tempat yang tidak terbayangkan,” jabarnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa nyamuk aedes aegypti punya kemampuan terbang radius 100 meter hingga 200 meter.
Jadi ia mengimbau masyarakat tak hanya memastikan rumahnya saja yang bersih, melainkan lingkungan tempat tinggalnya juga harus bersih.
“Jika ada yang terkonfirmasi DBD, secara teori petugas Puskesmas harus melakukan PE atau Penyelidikan Epidemiologi ke rumah yang bersangkutan. Lalu memeriksa rumah-rumah di radius 100 meter dari di rumah penderita untuk melihat apakah ada orang lain yang demam,” terangnya.
Lantas kenapa nyamuk bisa berkembang pesat di Indonesia? Sebab iklim Indonesia yang tropis menjadi lokasi ideal untuk siklus hidup nyamuk.
“Sehingga langkah yang paling efektif adalah menghambat faktor DBD ini, yakni nyamuk aedes aegypti dan aedes albopictus. Kita jaga lingkungan agar tak ada tempat bagi nyamuk untuk berkembang biak, yaitu genangan air jernih,” terangnya.
Atoillah menegaskan, gejala DBD berbeda-beda tergantung stadium-nya. Meski penderita anak atau sama dan jika stadium-nya sama, maka gejalanya juga sama.
“Makanya kami di bidang medis, ketika untuk mendiagnosis dari hasil pemulihan darah, dengan melihat kondisi klinisnya, biasanya kita bagi. Jadi apakah ini sudah hemorrhagic (kondisi berkaitan dengan pendarahan.red) atau hanya terinfeksi virus dengue. Sebab orang bisa terinfeksi virus dengue tanpa hemorrhagic. Namanya demam dengue,” paparnya.
Ia mengingatkan bahwa DBD memiliki siklus yang khas. Disebut sebagai demam pelana kuda. Siklusnya naik, turun, lalu naik kembali. Situasi ini terjadi dalam hitungan hari, bukan jam.
“Bagaimana idetifikasinya? Sederhananya dilihat dari kadar trombosit. Ketika masuk hari keempat-kelima kondisi anak sudah dingin tapi trombosit tambah rendah, itu artinya masuk fase kritis. Jadi harus hati-hati,” sebutnya. (saf/ipg)
[ad_2]