[ad_1]
Selain dinilai terlalu memberatkan, ternyata penerapan rasio pajak hiburan 40-75 persen oleh pemerintah, diakui beberapa pelaku industri pariwisata Tanah Air belum pernah disosialisasikan.
Salah satunya diungkapkan Dwi Cahyono Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Jawa Timur (PHRI Jatim) yang mengaku bingung dengan penerapan pajak sebesar itu secara tiba-tiba.
“Saya bilang bingung itu karena kita tidak pernah ada sosialisasi, tidak pernah diundang sosialisasi. Sedangkan sosialisasi itu penting untuk setiap aturan (baru) kan dibutuhkan agar bisa maksimal sampai dua tahun, dan itu untuk persiapan produk (para pelaku usaha),” ujarnya saat mengudara di program Wawasan Suara Surabaya FM 100, Senin (15/1/2024) yang membahas polemik pajak hiburan.
Sebagai informasi, ketentuan kenaikan pajak itu sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).
Pasal 58 ayat 2 UU tersebut menyatakan, jasa hiburan seperti diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa dikenakan Pajak Barang dan Jasa Tertentu atau PBJT paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.
Ketua PHRI Jatim itu menjelaskan, banyak dari anggota PHRI, khususnya hotel bintang empat ke atas, punya karaoke dan kelab malam sebagai salah satu fasilitasnya. Sehingga, kenaikan pajak tersebut tentu juga ikut berdampak kepada mereka.
Begitu juga dengan hotel yang menyelenggarakan acara di momen-momen khusus untuk menyambut para wisatawan, seperti halnya saat perhelatan Piala Dunia U-17 lalu, menurut Dwi, mau tidak mau akan ikut terimbas kenaikan pajak yang besar.
Apalagi, lanjutnya, Jawa Timur dikenal punya kota-kota MICE (Meetings, Incentives, Conventions, and Exhibitions), atau daerah yang sering digunakan para pebisnis dari berbagai daerah berkumpul untuk kebutuhan rapat dan lain sebagainya.
“Jawa Timur itu MICE, jadi hampir semua kegiatan di hotel itu pasti ada ada unsur hiburannya gitu, nyanyi, event segala macam. Demikian dengan teman-teman PHRI di Bali juga menyuarakan, karena mereka juga kebanyakan hiburan yang jadi andalan di sana,” terangnya.
Karenanya, kata Dwi, sosialiasi kenaikan pajak sangat diperlukan para pelaku usaha di sektor hiburan untuk mempersiapkan mulai dari harga pokok produksi, biaya operasional, hingga hitung-hitungan soal investasi.
Tapi kalau pajak dinaikan secara tiba-tiba dan dalam jumlah yang sangat besar, kata Dwi, tentu yang dikagetkan bukan hanya dari para pelaku usaha, namun juga masyarakat.
“Tanpa sosialisasi itu ya kita akan terkaget-kaget ya. Ya terus kita mau (menentukan) basic-nya (harga produksi) berapa, investasi berapa, harga jualnya berapa, mampu nggak itu dibeli oleh masyarakat gitu,” tambahnya.
Terkait protes-protes yang dilayangkan, Dwi Cahyono mengatakan hal itu sangat wajar. Apalagi para pelaku industri hiburan dan pariwisata Tanah Air, ada sekitar 10-20 persen yang masih belum bangkit sepenuhnya setelah dihantam pandemi Covid-19 selama dua tahun.
“Teman-teman anggota PHRI ini sekarang ini lagi lagi, hampir semuanya lagi belum mempersiapkan full capacity ya, untuk kamar, untuk segala macam. Ada sekitar 10-20 persen itu masih belum siap. Karena pandemi kemarin, ya harus diperbaiki, direnovasi lagi gitu, karena dua tahun mandek,” ucapnya.
Dia juga mengakui, meski sudah mendapat sosialisasi, namun pajak 40 hingga 75 persen yang dikenakan pemerintah masih dianggap terlampau tinggi. Apalagi masih ada beberapa pelaku industri perhotelan dan pariwisata yang terpaksa berutang, supaya bisa bertahan di masa-masa pandemi kemarin.
“Sebetulnya, pajak yang lama kalau naik 10 persen yang awalnya (25 persen), itu sebenarnya kita berat tapi masih bisa lah. Tapi kalau pemerintah daerah sudah yang menaikan sampai 50 persen, dan itu sudah ada yang menyampaikan surat edaran, waduh (sangat berat),”ujarnya.
Untuk itu, pada 17 Januari besok, PHRI akan berkumpul di Malang untuk menyamakan persepsi dan melayangkan protes bersama ke Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).
Harapannya, tentu supaya pemerintah bisa melakukan peninjauan kembali, salah satunya supaya wisatawan mancanegara yang biasanya ke Indonesia, tidak pindah ke negara lain. “Mulai tahun-tahun kemarin sudah seperti itu, sudah banyak (wisatawan) berpindah ke lain hati ya, ke negara lain,” tutupnya. (bil/ham)
[ad_2]